Pada suatu hari seorang pedagang tiba di kota
Konya, sebuah kota di Negara Turki zaman dahulu. Pedagang itu tampak
gelisah. Rupa-rupanya perjalanan niaganya ke sejumlah kota mengalami
kerugian. Barang-barang dagangan habis, tetapi laba tak di dapatnya.
Kini dengan lesu sang pedagang berniat singgah sejenak untuk
beristirahat di kota Konya. Ia ingin menenangkan jiwanya sebentar dari
kesumpekan hidup yang tengah melandanya.
Kepada beberapa
kenalannya, sang pedagang minta diantarkan kepada para ulama untuk
meminta nasehat. Para sahabatnya lantas mengajak sang pedagang untuk
mengunjungi ulama setempat untuk mengadukan permasalahannya. Para ulama
kota itu memberinya sejumlah nasehat, namun pedagang itu merasa kurang
puas. Ia masih merasa ada yang mengganggu batinnya, sesuatu yang tak ia
ketahui namun membuat gelisah jiwanya.
Akhirnya sang
pedagang berkata pada para sahabatnya: “ antarkan aku lagi ke ulama di
kota ini yang benar-benar alim, ulama yang tidak cinta dunia. Agar aku
dapat mengambil manfaat dari ucapannya”.
Sahabatnya
berkata: “ seingatku, semua ulama di kota ini telah kita kunjungi. Tapi,
sebentar…memang ada seorang alim yang kita telah lupa mengunjunginya.
Dia adalah Syaikh Jalaluddin Rumi. Beliau adalah orang yang benar-benar
alim. Beliau telah membuang kecintaan pada dunia dan menukarnya dengan
cinta ilahi. Beliau benar-benar sudah tenggelam dalam rasa cinta yang
memabukkan kepada Tuhannya. Beliau kini tinggal di pinggir kota. Kita
telah melupakannya.”
Baru mendengar nama ulama
itu saja sudah membuat hati sang pedagang gembira. Ia merasa ulama yang
disebutkan sahabatnya itu mampu memberi jawaban atas kegundahannya
selama ini. Ia pun berjanji dalam hati, akan memberi sedikit dari sisa
uangnya kepada ulama itu.
Mereka pun berangkat ke
tempat sang ulama.
Waktu mereka tiba, mereka melihat sang ulama
sedang asyik membaca kitab di dalam rumahnya yang sederhana. Baru
melihat keteduhan dan pancaran kelembutan di wajah sang ulama, sudah
membuat airmata sang pedagang berlinang. Cahaya yang memancar dari wajah
ulama itu menerbitkan ketentraman di hatinya. Sang pedagang pun
mengucap salam.
Sambil tersenyum Syaikh Jalaluddin Rumi menjawab
salamnya dan berkata: “uang yang kau niatkan untuk kau berikan padaku
aku terima. Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan. Wahai pedagang,
sekarang apakah kau ingin tahu apa yang membuat hatimu gundah dan
usahamu terus-menerus rugi?”
Sambil bercucuran airmata
pedagang itu mengangguk.
Dengan tenang, Syaikh
Jalaluddin mengarahkan jari telunjuknya ke dinding. Tiba-tiba saja
dinding itu terbelah. Kemudian tampak pemandangan seorang yang
berpakaian compang-camping sedang tidur di sudut pasar.
“wahai pedagang, kau pernah melewati pasar ini dan
memandang jijik pada pengemis itu, lalu meludahinya. Dia adalah salah
satu kekasih Allah. Hatinya terluka oleh sikapmu padanya. Ia lalu
memohon kepada Allah. Karena doanya lah usahamu jadi terus-menerus rugi
dan hatimu selalu gelisah.”
Pedagang itu menjerit
menangisi perbuatannya. Syaikh lalu berkata:
“sekarang
pengemis itu ada di kota Firengistan di sebuah sudut
pasar. Datanglah kesana, mintalah maaf padanya, cium tangannya dan
biarkan airmata penyesalanmu membasahi telapak kakinya. Sampaikan salam
takzimku padanya.”
Pedagang itu lalu pamit dan bergegas menuju kota
yang dimaksud. Sampai disana ia mendapati kebenaran kata-kata Rumi.
Pengemis itu ada disana. Dengan penuh penyesalan pedagang itu meminta
maaf dan mencium telapak kaki pengemis itu sambil berlinangan airmatanya.
Dalam hidup ini mungkin kita mengalami seperti yang
dialami pedagang itu. Kesumpekan, kegelisahan, kegagalan usaha, dan
kesialan yang terus membuntuti. Itu mungkin karena kita telah sengaja
atau tanpa sengaja menyakiti hati orang-orang yang dicintai Allah. Kita
sudah meludahi dan memandang jijik tempat atau orang-orang yang menjadi
penyebab turunnya kemuliaan dan kebahagiaan buat kita, sehingga
kemuliaan dan kebahagiaan untuk kita dibatalkan. Kita telah menghina
kehormatan orang-orang yang dihormati Allah, sehingga kita pun
kehilangan kehormatan kita dihadapan Allah.
Wallahu a'lam..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar