Ada sebuah kisah pada zaman Khalifah Umar bin Khatab, sahabat Rasul
Saw., yang patut direnungkan. Pada zaman itu, pada masa pemerintahan
beliau, terjadi bencana dahsyat berupa gempa yang melanda suatu daerah
yang dipimpinnya. Dan beliau mengunjungi daerah tersebut. Apa yang
diucapkan Umar? “Wahai rakyatku, dosa besar apa yang telah kalian
lakukan sehingga Allah Swt. menimpakan azab seperti ini?”
Boleh
jadi, bagi sebagian orang, pertanyaan ini terdengar kasar, apalagi
ditujukan kepada orang yang tertimpa musibah. Namun, tujuan Umar
bertanya seperti itu sebenarnya adalah ingin mengajak umatnya untuk
mengintrospeksi diri. Dan, inilah juga yang seharusnya kita lakukan.
Melalui
pendekatan Al-Quran dan hadits, bencana dalam Islam tidak bisa
dilepaskan pada tiga aspek, yakni musibah, ujian, dan azab. Peristiwa
ini dapat kita simak dalam Al-Quran melalui kisah para nabi dan rasul
dengan kaumnya masing-masing.
Bencana sebagai musibah bukanlah suatu
kejadian yang sia-sia, malah mengandung sarana pencapaian derajat tinggi
bagi manusia. Bencana harus dihadapi dengan sabar dan tawakal kepada
Allah Swt. karena mengandung hikmah dan berkah di dalamnya. Sehingga
bencana sebagai musibah, ujian, atau azab sudah tidak menjadi persoalan
lagi ketika kita bisa menjalaninya dengan sabar dan tawakal yang
bernilai pahala besar dari-Nya.
Yang menjadi masalah adalah
manakala kita bersikap berlebihan dan tak tahu arah, yakni perbuatan
yang menyekutukan kekuasaan Allah Swt. Tidak sedikit manusia terjebak
kepada perbuatan syirik manakala terkena musibah. Dalam beberapa
kesempatan, kita melihat beberapa upacara dan ritual dilakukan yang
diyakini sebagai tolak bala atau sebagai sarana menenteramkan hati
karena meyakini sesuatu dari hasil ritual itu bisa menolak bencana yang
akan datang.
Dalam hal ini, Rasulullah Saw. telah mengingatkan
untuk menjauhi tujuh perkara yang membinasakan.
Rasul Saw. ditanya,
“Wahai Rasulullah apakah tujuh perkara yang membinasakan itu?” Beliau
menjawab: “Menyekutukan Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan
Allah kecuali dengan hak, memakan harta anak yatim, memakan riba, lari
dari medan perang (jihad), menuduh berzina wanita mukminah padahal dia
tidak tahu menahu (dengan zina tersebut)” (H.R. Bukhari).
Saat
musibah atau bencana menimpa, banyak praktik menyekutukan Allah Swt.
dapat kita simak, seperti meminta bantuan dukun atau orang yang
dipercayai dapat meramalkan sesuatu dan mengetahui hal-hal gaib,
melakukan upacara atau ritual yang dipersembahkan kepada leluhur atau
suatu figur yang diyakini menjaga suatu ciptaan Allah Swt. seperti
gunung, laut dan danau, makam, atau tempat-tempat peninggalan zaman
dahulu.
Dalam Al-Quran banyak sekali ayat-ayat mengenai bencana
atau musibah serta pelajaran di dalamnya. Maka, beruntunglah orang-orang
dianugerahi al-hikmah (kepahaman yang mendalam) kepada siapa yang Dia
kehendaki. Dan barangsiapa yang dianugerahi al-hikmah itu, ia
benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan, hanya
orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (Q.S. Al
Baqarah [2]: 269).
Dan banyak hadits sahih yang menjelaskan
larangan meminta (sesuatu) kepada makhluk, sakah satunya, “Senantiasa
seseorang itu meminta (kepada makhluk) sampai dia bertemu Allah Swt.
(pada hari kiamat) dalam keadaan tidak ada sekerat daging pun pada
wajahnya” (H.R. Bukhari).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata,
“Meminta kepada makhluk, padanya ada tiga keburukan; keburukan (karena)
menunjukkan rasa butuh kepada selain Allah Swt. dan ini termasuk satu
jenis kesyirikan; keburukan (karena) menyakiti orang yang kita meminta
kepadanya dan ini termasuk satu jenis kedzaliman terhadap makhluk; dan
(keburukan karena) menundukkan diri kepada selain Allah Swt. dan ini
termasuk satu jenis kedzaliman terhadap diri sendiri” (Kitabul Iman,
hal. 66).
Rasul Saw. bersabda, “Tidaklah menimpa seorang hamba
suatu bencana, baik besar maupun kecil, melainkan karena suatu dosa, dan
yang dimaafkan Allah darinya lebih banyak. Allah berfirman, ‘Dan apa
yang menimpamu dari suatu musibah, maka itu disebabkan karena ulah
tangan kalian dan Allah memaafkan banyak (kesalahanmu)“ (H.R. Tirmidzi).
Dengan
begitu, hadits ini menerangkan kepada kita bahwa musibah bisa menjadi
penebus dosa tertentu berdasarkan pandangan Allah Swt. Kalau saja
bencana itu kita sebut sebagai azab, berarti di balik azab itu Allah
Swt. benar-benar menurunkan rahmat dan kasih sayang-Nya berupa
pengampunan dosa. Mahabenar Allah dengan segala firman-Nya.
Dan
hadits lain Rasul Saw. bersabda, “Tiap-tiap bencana apa pun yang menimpa
seorang Muslim, sekalipun satu duri, adalah karena salah satu dari dua
sebab. Yaitu, karena Allah hendak mengampuni dosa kesalahannya yang
tidak dapat diampuni-Nya, melainkan dengan cobaan itu, atau karena Allah
hendak memberinya kehormatan yang tidak mungkin dapat dicapainya
melainkan dengan cobaan itu."
Maka, sudah sepatutnya kita
banyak-banyak menyebut nama Allah Swt. dan senantiasa meminta ampun
kepada-Nya. Bukan malah sebaliknya menjauhi Allah dengan meyakini
sesuatu hal yang berbau syirik. Jika ada yang meyakini bahwa dengan
melakukan ritual atau persembahan kepada seseorang atau para pendahulu
sebagai bertawasul dengan para nabi dan wali, agar beliau menjadi
wasilah (perantara) untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt. atau agar
beliau memintakan keamanan diri kepada Allah Swt., kesyirikan ini sama
persisnya dengan yang dilakukan oleh kaum musyrikin di zaman jahiliah
dahulu. Mereka memohon kepada berhala-berhala juga agar bisa lebih dekat
dengan Allah Swt. atau mendapat syafaat di sisi-Nya.
Sebagaimana
firman Allah Swt.: ”Dan orang-orang mengambil penolong selain Allah
mereka berkata: ’Kami tidaklah mengibadati mereka melainkan supaya
mereka betul-betul mendekatkan kami kepada Allah dengan
sedekat-dekatnya’” (Q.S. Az-Zumar [39]: 3].
Firman Allah Swt.
yang lain menerangkan: “Dan mereka menyembah selain Allah apa yang tidak
dapat mendatangkan kemudharatan kepada mereka dan tidak pula
kemanfaatan, dan mereka berkata: ’Mereka itu adalah pemberi syafaat
kepada kami di sisi Allah’” (Q.S. Yunus [10]: 18).
Kesyirikan
itu bertolak belakang dengan Rasulullah Saw. yang diutus untuk
mendakwahkan dan memerangi kaum musyrikin jahiliah yang hanya
menyekutukan Allah Swt. ketika mereka dalam keadaan aman dan tenteram,
namun ketika ditimpa bencana dan membutuhkan pertolongan, mereka kembali
mentauhidkan Allah Swt.
Sebagaimana dalam firman-Nya: “Maka apabila
mereka naik kapal, mereka berdoa kepada Allah dengan memurnikan
ketaatan kepada-Nya; maka tatkala Allah menyelamatkan mereka sampai ke
darat, tiba-tiba mereka menyekutukan-Nya” (Q.S. Al-Ankabuut [29]: 65).
Orang
yang melakukan ritual untuk persembahan kepada sesuatu adalah kelompok
yang meyakini dan mempercayai akan sesuatu yang gaib sebagai perantara
untuk mendapatkan ketenangan jiwa, keselamatan, termasuk menolak bala
atau musibah. Padahal, Allah Swt. memerintahkan Muhammad Saw. supaya
mengumumkan kepada segenap umat bahwa tidak ada sesuatu pun, baik di
langit maupun di bumi, yang mengetahui ilmu gaib selain Allah. Orang
yang mengaku mengetahui ilmu gaib telah mendustakan Allah Swt. Dalam
firman-Nya, “Katakanlah: Tidak ada sesuatu di langit maupun di bumi yang
mengetahui hal gaib kecuali Allah. Dan mereka tidak menyadari kapan
mereka dibangkitkan” (Q.S. An-Naml [27]: 65). Wallahul Musta’an. [Ahmad
Tidak ada komentar:
Posting Komentar