Selasa, 06 Maret 2012

JANGAN ADA SYIRIK DI ANTARA MUSIBAH

Ada sebuah kisah pada zaman Khalifah Umar bin Khatab, sahabat Rasul Saw., yang patut direnungkan. Pada zaman itu, pada masa pemerintahan beliau, terjadi bencana dahsyat berupa gempa yang melanda suatu daerah yang dipimpinnya. Dan beliau mengunjungi daerah tersebut. Apa yang diucapkan Umar? “Wahai rakyatku, dosa besar apa yang telah kalian lakukan sehingga Allah Swt. menimpakan azab seperti ini?”

Boleh jadi, bagi sebagian orang, pertanyaan ini terdengar kasar, apalagi ditujukan kepada orang yang tertimpa musibah. Namun, tujuan Umar bertanya seperti itu sebenarnya adalah ingin mengajak umatnya untuk mengintrospeksi diri. Dan, inilah juga yang seharusnya kita lakukan.

Melalui pendekatan Al-Quran dan hadits, bencana dalam Islam tidak bisa dilepaskan pada tiga aspek, yakni musibah, ujian, dan azab. Peristiwa ini dapat kita simak dalam Al-Quran melalui kisah para nabi dan rasul dengan kaumnya masing-masing.
Bencana sebagai musibah bukanlah suatu kejadian yang sia-sia, malah mengandung sarana pencapaian derajat tinggi bagi manusia. Bencana harus dihadapi dengan sabar dan tawakal kepada Allah Swt. karena mengandung hikmah dan berkah di dalamnya. Sehingga bencana sebagai musibah, ujian, atau azab sudah tidak menjadi persoalan lagi ketika kita bisa menjalaninya dengan sabar dan tawakal yang bernilai pahala besar dari-Nya.

Yang menjadi masalah adalah manakala kita bersikap berlebihan dan tak tahu arah, yakni perbuatan yang menyekutukan kekuasaan Allah Swt. Tidak sedikit manusia terjebak kepada perbuatan syirik manakala terkena musibah. Dalam beberapa kesempatan, kita melihat beberapa upacara dan ritual dilakukan yang diyakini sebagai tolak bala atau sebagai sarana menenteramkan hati karena meyakini sesuatu dari hasil ritual itu bisa menolak bencana yang akan datang.

Dalam hal ini, Rasulullah Saw. telah mengingatkan untuk menjauhi tujuh perkara yang membinasakan.
Rasul Saw. ditanya, “Wahai Rasulullah apakah tujuh perkara yang membinasakan itu?” Beliau menjawab: “Menyekutukan Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan hak, memakan harta anak yatim, memakan riba, lari dari medan perang (jihad), menuduh berzina wanita mukminah padahal dia tidak tahu menahu (dengan zina tersebut)” (H.R. Bukhari).

Saat musibah atau bencana menimpa, banyak praktik menyekutukan Allah Swt. dapat kita simak, seperti meminta bantuan dukun atau orang yang dipercayai dapat meramalkan sesuatu dan mengetahui hal-hal gaib, melakukan upacara atau ritual yang dipersembahkan kepada leluhur atau suatu figur yang diyakini menjaga suatu ciptaan Allah Swt. seperti gunung, laut dan danau, makam, atau tempat-tempat peninggalan zaman dahulu.

Dalam Al-Quran banyak sekali ayat-ayat mengenai bencana atau musibah serta pelajaran di dalamnya. Maka, beruntunglah orang-orang dianugerahi al-hikmah (kepahaman yang mendalam) kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan barangsiapa yang dianugerahi al-hikmah itu, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan, hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (Q.S. Al Baqarah [2]: 269).

Dan banyak hadits sahih yang menjelaskan larangan meminta (sesuatu) kepada makhluk, sakah satunya, “Senantiasa seseorang itu meminta (kepada makhluk) sampai dia bertemu Allah Swt. (pada hari kiamat) dalam keadaan tidak ada sekerat daging pun pada wajahnya” (H.R. Bukhari).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, “Meminta kepada makhluk, padanya ada tiga keburukan; keburukan (karena) menunjukkan rasa butuh kepada selain Allah Swt. dan ini termasuk satu jenis kesyirikan; keburukan (karena) menyakiti orang yang kita meminta kepadanya dan ini termasuk satu jenis kedzaliman terhadap makhluk; dan (keburukan karena) menundukkan diri kepada selain Allah Swt. dan ini termasuk satu jenis kedzaliman terhadap diri sendiri” (Kitabul Iman, hal. 66).

Rasul Saw. bersabda, “Tidaklah menimpa seorang hamba suatu bencana, baik besar maupun kecil, melainkan karena suatu dosa, dan yang dimaafkan Allah darinya lebih banyak. Allah berfirman, ‘Dan apa yang menimpamu dari suatu musibah, maka itu disebabkan karena ulah tangan kalian dan Allah memaafkan banyak (kesalahanmu)“ (H.R. Tirmidzi).

Dengan begitu, hadits ini menerangkan kepada kita bahwa musibah bisa menjadi penebus dosa tertentu berdasarkan pandangan Allah Swt. Kalau saja bencana itu kita sebut sebagai azab, berarti di balik azab itu Allah Swt. benar-benar menurunkan rahmat dan kasih sayang-Nya berupa pengampunan dosa. Mahabenar Allah dengan segala firman-Nya.
Dan hadits lain Rasul Saw. bersabda, “Tiap-tiap bencana apa pun yang menimpa seorang Muslim, sekalipun satu duri, adalah karena salah satu dari dua sebab. Yaitu, karena Allah hendak mengampuni dosa kesalahannya yang tidak dapat diampuni-Nya, melainkan dengan cobaan itu, atau karena Allah hendak memberinya kehormatan yang tidak mungkin dapat dicapainya melainkan dengan cobaan itu."

Maka, sudah sepatutnya kita banyak-banyak menyebut nama Allah Swt. dan senantiasa meminta ampun kepada-Nya. Bukan malah sebaliknya menjauhi Allah dengan meyakini sesuatu hal yang berbau syirik. Jika ada yang meyakini bahwa dengan melakukan ritual atau persembahan kepada seseorang atau para pendahulu sebagai bertawasul dengan para nabi dan wali, agar beliau menjadi wasilah (perantara) untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt. atau agar beliau memintakan keamanan diri kepada Allah Swt., kesyirikan ini sama persisnya dengan yang dilakukan oleh kaum musyrikin di zaman jahiliah dahulu. Mereka memohon kepada berhala-berhala juga agar bisa lebih dekat dengan Allah Swt. atau mendapat syafaat di sisi-Nya.

Sebagaimana firman Allah Swt.: ”Dan orang-orang mengambil penolong selain Allah mereka berkata: ’Kami tidaklah mengibadati mereka melainkan supaya mereka betul-betul mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya’” (Q.S. Az-Zumar [39]: 3].

Firman Allah Swt. yang lain menerangkan: “Dan mereka menyembah selain Allah apa yang tidak dapat mendatangkan kemudharatan kepada mereka dan tidak pula kemanfaatan, dan mereka berkata: ’Mereka itu adalah pemberi syafaat kepada kami di sisi Allah’” (Q.S. Yunus [10]: 18).

Kesyirikan itu bertolak belakang dengan Rasulullah Saw. yang diutus untuk mendakwahkan dan memerangi kaum musyrikin jahiliah yang hanya menyekutukan Allah Swt. ketika mereka dalam keadaan aman dan tenteram, namun ketika ditimpa bencana dan membutuhkan pertolongan, mereka kembali mentauhidkan Allah Swt.
Sebagaimana dalam firman-Nya: “Maka apabila mereka naik kapal, mereka berdoa kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya; maka tatkala Allah menyelamatkan mereka sampai ke darat, tiba-tiba mereka menyekutukan-Nya” (Q.S. Al-Ankabuut [29]: 65).

Orang yang melakukan ritual untuk persembahan kepada sesuatu adalah kelompok yang meyakini dan mempercayai akan sesuatu yang gaib sebagai perantara untuk mendapatkan ketenangan jiwa, keselamatan, termasuk menolak bala atau musibah. Padahal, Allah Swt. memerintahkan Muhammad Saw. supaya mengumumkan kepada segenap umat bahwa tidak ada sesuatu pun, baik di langit maupun di bumi, yang mengetahui ilmu gaib selain Allah. Orang yang mengaku mengetahui ilmu gaib telah mendustakan Allah Swt. Dalam firman-Nya, “Katakanlah: Tidak ada sesuatu di langit maupun di bumi yang mengetahui hal gaib kecuali Allah. Dan mereka tidak menyadari kapan mereka dibangkitkan” (Q.S. An-Naml [27]: 65). Wallahul Musta’an. [Ahmad

Tidak ada komentar: