Senin, 16 April 2012

WAJIBKAH BERMADZHAB

Mengenai keberadaan negara kita di indonesia ini adalah bermadzhabkan syafii, demikianguru – guru kita dan guru – guru dari guru - guru kita, sanad guru mereka jelas hingga
Imam Syafii, dan sanad mereka muttashil hingga Imam Bukhari, bahkan hingga Rasul saw.
Bukan sebagaimana orang – orang masa kini yang mengambil ilmu dari buku terjemahan
atau menggunting dari internet lalu berfatwa untuk memilih madzhab semaunya. Anda
benar, bahwa kita mesti menyesuaikan dengan keadaan, bila kita di Makkah misalnya, maka
madzhab disana kebanyakan Hanafi, dan di Madinah madzhab kebanyakannya adalah Maliki,
selayaknya kita mengikuti madzhab setempat, agar tak menjadi fitnah dan dianggap lain
sendiri, beda dengan sebagian muslimin masa kini yang gemar mencari yang aneh dan beda,
tak mau ikut jamaah dan cenderung memisahkan diri agar dianggap lebih alim dari yang lain,
hal ini adalah dari ketidak fahaman melihat situasi suatu tempat dan kondisi masyarakat.
Memang tak ada perintah wajib bermadzhab secara shariih (shariih : jelas). Namun
bermadzhab wajib hukumnya, karena kaidah syariah adalah Maa Yatimmul waajib illa bihi
fahuwa wajib, yaitu apa – apa yang mesti ada sebagai perantara untuk mencapai hal yang
wajib, menjadi wajib hukumnya.
Misalnya kita membeli air, apa hukumnya? tentunya mubah saja, namun bila kita akan shalat
fardhu tapi air tidak ada, dan yang ada hanyalah air yang harus beli, dan kita punya uang,
maka apa hukumnya membeli air? dari mubah berubah menjadi wajib tentunya. karena perlu
untuk shalat yang wajib.
Demikian pula dalam syariah ini, tak wajib mengikuti madzhab, namun karena kita tak
mengetahui samudera syariah seluruh madzhab, dan kita hidup 14 abad setelah wafatnya
Rasul saw, maka kita tak mengenal hukum ibadah kecuali menelusuri fatwa yang ada di
Imam - Imam Muhaddits terdahulu, maka bermadzhab menjadi wajib, karena kita tak bisa
beribadah hal - hal yang fardhu atau wajib kecuali dengan mengikuti salah satu madzhab itu,
maka bermadzhab menjadi wajib hukumnya.
Sebagaimana suatu contoh kejadian ketika Zeyd dan Amir sedang berwudhu, lalu keduanya
ke pasar, dan masing - masing membeli sesuatu di pasar seraya keduanya menyentuh wanita,
lalu keduanya akan shalat, maka Zeyd berwudhu dan Amir tak berwudhu. Ketika Zeyd
bertanya pada Amir, mengapa kau tak berwudhu? bukankah kau bersentuhan dengan wanita?
maka amir berkata, aku bermadzhabkan Maliki, maka Zeyd berkata, maka wudhu mu itu tak
sah dalam madzhab malik dan tak sah pula dalam madzhab syafii, karena madzhab maliki
mengajarkan wudhu harus menggosok anggota wudhu, tak cukup hanya mengusap, namun
kau tadi berwudhu dengan madzhab syafii dan lalu dalam masalah bersentuhan kau ingin
mengambil madzhab maliki, maka bersuci mu kini tak sah secara maliki dan telah batal
pula dalam madzhab syafii.
Demikian contoh kecil dari kebodohan orang yang mengatakan bermadzhab tidak wajib,
lalu siapa yang akan bertanggung jawab atas wudhunya? ia butuh sanad yang ia pegang
bahwa ia berpegangan pada sunnah Nabi saw dalam wudhunya, sanadnya berpadu pada
Imam Syafii atau pada Imam Malik? atau pada lainnya? atau ia tak berpegang pada salah
satunya sebagaimana contoh diatas.
Dan berpindah – pindah madzhab tentunya boleh – boleh saja bila sesuai situasinya, ia
pindah ke wilayah malikiyyun (malikiyyun orang - orang yang bermadzhab maliki) maka
tak sepantasnya ia berkeras kepala dengan madzhab syafii-nya. Demikian pula bila ia berada
di indonesia, wilayah madzhab syafi’iyyun, tak sepantasnya ia berkeras kepala mencari
madzhab lain. wallahu a’lam

Tidak ada komentar: