Jumat, 24 Februari 2012

Puncak Kedengkian

Murtadha Muthahhari pernah berkisah tentang orang yang memiliki sifat dengki atau hasad, dimana kedengkiannya ini sudah mencapai puncaknya, hingga ia tak lagi memikirkan nasibnya sendiri. Yang dipikirkan oleh si pendengki ini hanyalah bagaimana caranya agar orang yang didengkinya celaka. Inilah kisahnya:

Di suatu masa, seorang yang kaya membeli seorang budak. Sesampainya di rumah, budak itu amat dimanjakan oleh tuannya. Ia diberi makanan yang enak-enak dan pakaian yang indah. Budak itu juga diberi perhiasan dan uang yang banyak oleh sang majikan, persis seperti anak sendiri, bahkan lebih. Budak tersebut juga tak pernah diberi pekerjaan apa pun. Tentu saja budak ini keheranan dengan perbuatan sang majikan. Apalagi ia  melihat majikannya ini  tak pernah tenang, selalu merasa gelisah setiap saat.

Suatu malam, saat duduk berdua, majikan itu berkata, “Tahukah kamu, mengapa aku memperlakukan kamu sebaik ini?” Budak itu balik bertanya, yang lalu dijawab oleh majikannya, “Aku punya satu permintaan yang jika kamu bisa memenuhinya aku akan sangat merasa gembira. Sebaliknya, jika kamu menolak permintaanku ini aku akan sangat kecewa  padamu.” Si budak menjawab, “Saya akan menaati apa yang anda pinta. Anda telah berjasa pada saya, anda telah memberi saya kebahagiaan.” Majikannya berkata, “ kau harus berjanji setia dan bersedia melakukan apa yang aku perintahkan. Karena aku khawatir kau menolaknya.” Kata si budak, “Saya berjanji akan melakukan apa yang anda kehendaki.” Majikannya melanjutkan, “Permintaanku satu, kau harus memotong leherku di suatu saat dan tempat tertentu.” Budak itu berseru, “Apa?! Bagaimana mugkin aku melakukan hal itu?!” Majikannya menegaskan, “Itulah yang kuinginkan.” Budaknya menolak, “Itu tak mungkin aku lakukan!” Tapi majikannya bersikeras, “Kau sudah berjanji padaku. Kau harus melakukannya.”

Di suatu tengah malam, tuan itu membangunkan budaknya, memberinya sebilah pisau tajam dan sekantung uang emas lalu mengajaknya untuk memanjat atap rumah tetangganya. Ia lalu memerintahkan budaknya untuk menggorok lehernya di situ. Sesudah itu budaknya boleh pergi kemana saja membawa kantung uang emasnya. Budak itu ketakutan dan tidak mengerti, “Mengapa tuan menginginkan aku berbuat seperti itu?”

Tuannya menjawab, “Aku membenci tetanggaku ini. Ia memiliki usaha yang maju, keluarga yang bahagia dan anak-anak yang berhasil dalam hidupnya. Aku sangat membenci orang ini, aku lebih suka mati dari pada melihatnya. Kami bersaing, tapi ia mengalahkanku dalam segala hal. Dendamku padanya berkobar-kobar. Aku menginginkan ia dipenjara atas pembunuhan tipuan ini dan gagasan ini melegakanku. Semua orang tahu ia sainganku, dengan begitu ia akan dihukum karena perbuatan ini. Membayangkan ia masuk penjara saja sudah menjadi kebahagiaan yang besar buatku.”

Budaknya itu terperangah, “Tuan tampak seperti orang bodoh dan pantas memperoleh kematian ini!” Maka ia pun memotong kepala lelaki itu, lalu melarikan diri. Akibatnya, saingannya ditahan dan dihukum. Tetapi tak seorang pun percaya kalau ia akan membunuh saingannya di atas rumahnya sendiri. Ini menjadi misteri. Di kemudian hari, nurani si budak tergugah. Ia lalu menghadap penguasa dan menceritakan yang sesungguhnya terjadi. Ketika penguasa memahami persoalan ini, si tersangka dan si budak dibebaskan. Pada akhirnya, kedengkian hanya akan berakibat buruk bagi si pelakunya sendiri
http://majlisdzikrullahpekojan.org

Tidak ada komentar: