Murtadha Muthahhari pernah berkisah tentang orang
yang memiliki sifat dengki atau hasad, dimana kedengkiannya ini sudah
mencapai puncaknya, hingga ia tak lagi memikirkan nasibnya sendiri. Yang
dipikirkan oleh si pendengki ini hanyalah bagaimana caranya agar orang
yang didengkinya celaka. Inilah kisahnya:
Di suatu masa, seorang yang kaya membeli seorang
budak. Sesampainya di rumah, budak itu amat dimanjakan oleh tuannya. Ia
diberi makanan yang enak-enak dan pakaian yang indah. Budak itu juga
diberi perhiasan dan uang yang banyak oleh sang majikan, persis seperti
anak sendiri, bahkan lebih. Budak tersebut juga tak pernah diberi
pekerjaan apa pun. Tentu saja budak ini keheranan dengan perbuatan sang
majikan. Apalagi ia melihat majikannya ini tak
pernah tenang, selalu merasa gelisah setiap saat.
Suatu malam, saat duduk
berdua, majikan itu berkata, “Tahukah kamu, mengapa aku memperlakukan
kamu sebaik ini?” Budak itu balik bertanya, yang lalu dijawab oleh
majikannya, “Aku punya satu permintaan yang jika kamu bisa memenuhinya
aku akan sangat merasa gembira. Sebaliknya, jika kamu menolak
permintaanku ini aku akan sangat kecewa padamu.” Si budak
menjawab, “Saya akan menaati apa yang anda pinta. Anda telah berjasa
pada saya, anda telah memberi saya kebahagiaan.” Majikannya berkata, “
kau harus berjanji setia dan bersedia melakukan apa yang aku
perintahkan. Karena aku khawatir kau menolaknya.” Kata si budak, “Saya
berjanji akan melakukan apa yang anda kehendaki.” Majikannya
melanjutkan, “Permintaanku satu, kau harus memotong leherku di suatu
saat dan tempat tertentu.” Budak itu berseru, “Apa?! Bagaimana mugkin
aku melakukan hal itu?!” Majikannya menegaskan, “Itulah yang
kuinginkan.” Budaknya menolak, “Itu tak mungkin aku lakukan!” Tapi
majikannya bersikeras, “Kau sudah berjanji padaku. Kau harus
melakukannya.”
Di
suatu tengah malam, tuan itu membangunkan budaknya, memberinya sebilah
pisau tajam dan sekantung uang emas lalu mengajaknya untuk memanjat atap
rumah tetangganya. Ia lalu memerintahkan budaknya untuk menggorok
lehernya di situ. Sesudah itu budaknya boleh pergi kemana saja membawa
kantung uang emasnya. Budak itu ketakutan dan tidak mengerti, “Mengapa
tuan menginginkan aku berbuat seperti itu?”
Tuannya menjawab, “Aku membenci tetanggaku ini.
Ia memiliki usaha yang maju, keluarga yang bahagia dan anak-anak yang
berhasil dalam hidupnya. Aku sangat membenci orang ini, aku lebih suka
mati dari pada melihatnya. Kami bersaing, tapi ia mengalahkanku dalam
segala hal. Dendamku padanya berkobar-kobar. Aku menginginkan ia
dipenjara atas pembunuhan tipuan ini dan gagasan ini melegakanku. Semua
orang tahu ia sainganku, dengan begitu ia akan dihukum karena perbuatan
ini. Membayangkan ia masuk penjara saja sudah menjadi kebahagiaan yang
besar buatku.”
http://majlisdzikrullahpekojan.org
Tidak ada komentar:
Posting Komentar